Laksamana TNI (Anumerta) Raden Eddy Martadinata |
Mungkin ketika kita traveling ke luar kota pernah melihat nama jalan dengan nama nama pahlawan, nah yang satu ini pasti pernah melihat atau pernah mendengar nama jalan RE Martadinata. Pasti ada yang sudah mengenal dengan Laksamana TNI ini atau ada juga yang belum, nah mari kita bahas bersama bio data dan sejarah dari RE Martadinata.
Dari sederetan tokoh yang pernah menjabat Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Laksamana TNI (Anumerta) Raden Eddy Martadinata adalah salah satunya.
Pria yang dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada 29 Maret 1921 ini adalah putra pertama dari R Ruchijat Martadinata, seorang pegawai Departemen Peperangan Pemerintah Hindia Belanda (Department van Oorlog) dan Nyi R Soekaeni.
Sebenarnya, oleh kakeknya dia diberi nama Muchammad Zuchdi. Namun, oleh orangtunya dia diberi nama Eddy. Tahun 1927, Eddy memasuki masa sekolah di Hollandsch lnlandsche School (HIS) Kertapati. Dia terdaftar dengan nama Eddy Martadinata.
Tamat di HIS pada 1934, Eddy Martadinata melanjutkan ke sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Palembang. duh nama sekolahnya susah susah yah jama dulu, masih ada gak yah sekarang sekolah ini?
Saat keluarganya pindah ke Bandung, Eddy melanjutkan ke MULO setempat. Tahun 1938 dia melanjutkan pendidikan ke Algemeene Middelbare School (AMS) di Jakarta.
Demi mewujudkan cita-cita menjadi pelaut, ia membujuk ayahnya agar diizinkan masuk ke Zeevaart Technische School (ZTS), yang kemudian menjadi Sekolah Teknik Pelayaran (STP). Setelah diizinkan, dia pun bersekolah di situ.
Meski sempat terputus karena Jepang menutup semua sekolah di seluruh Indonesia, Eddy akhirnya lulus. Semua siswa STP yang lulus sebagian besar diminta bekerja pada pelayaran Jepang.
September 1944 Beliau mendapat kepercayaan untuk menjadi Nakhoda Kapal Latih Dai 28 Sakura Maru. Inilah jabatan yang sudah lama dia dambakan. Saat menjadi komandan kapal itu, Eddy menikah dengan gadis bernama Sutijarsih, anak dari teman bapaknya, Suryaputra.
Jelang Proklamasi 17 Agustus 1945, para pelaut seperti Eddy Martadinata, R Suryadi, Adam, Daryaatmaka, Suparlan, Achmad Hadi, Untoro Kusmardjo, dan Jasanatakusumah menggalang persatuan dan kekuatan untuk menyongsong kemerdekaan. Mereka mengadakan hubungan dengan kelompok pemuda pejuang lainnya, di antaranya dengan kelompok pemuda Sukarni dan Chaerul Saleh.
Pada 10 September 1945, Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut Pusat terbentuk. RE Martadinata ditunjuk sebagai pimpinan BKR-Laut Banten yang bertugas membendung tentara Serikat ke Jawa Barat lewat laut.
Menyusul Maklumat Pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945 tentang lahirnya Tentara Keamanan Rakyat (TKR), secara otomatis organisasi BKR-Laut menjadi TKR-Laut. Saat Markas Besar MBU TKR-Laut dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, RE Martadinata diperintahkan supaya pindah ke Yogyakarta untuk membantu pimpinan MBU TKR-Laut. Selain itu, dia mendapat tugas sebagai Perwira Pendidikan MBU TKR-Laut.
Pada 25 Januari 1946, TKR diganti menjadi TRI. TKR-Laut pun menjadi TRI-Laut. Sebulan kemudian menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Pada Maret 1946, RE Martadinata menjadi Kepala Staf Operasi V (KSO V/Bagian Perencana) di MBU ALRI.
Setelah sukses melaksanakan tugas sebagai Kepala Staf Operasi, sejak bulan Maret 1947 RE Martadinata memimpin langsung Pendidikan Latihan Kilat Opsir di Kalibakung, dekat Tegal.
Saat Belanda melancarkan Agresi Militer I pada bulan Juli 1947, pangkalan-pangkalan ALRI yang berada di Pulau Jawa juga digempur. Melihat kenyataan itu, RE Martadinata tak tinggal diam. Dia segera mengeluarkan perintah kepada para guru dan siswa Pendidikan Latihan Kilat Opsir Kalibakung untuk membentuk kesatuan pertahanan. Dia langsung memimpin pasukan itu.
Belanda menyerang Kalibakung pada tanggal 25 Juli 1947. Belanda terus mengadakan pengawasan terhadap kegiatan di Kalibakung. Ini disebabkan banyaknya pelaut dari Tegal yang mundur ke wilayah itu. Pada tanggal 3 September 1947, Belanda melancarkan serangah udara.
Karena kondisi tidak aman lagi, Eddy Martadinata mengungsikan keluarganya ke Yogyakarta. Ia tetap berada di tengah anak buahnya untuk meneruskan pertempuran. Selama Agresi Militer I Belanda, RE Martadinata terus bergerilya di daerah sekitar Tegal dan Pekalongan.
Kemudian, dia ditarik kembali ke MBU-ALRI di Yogyakarta. Tetapi hanya sebentar karena setelah pimpinan ALRI diganti oleh R Soebijakto, RE Martadinata diperintahkan kembali ke Kalibakung melanjutkan memimpin sekolah yang terhenti selama agresi Belanda. Pendidikan itu berubah nama menjadi Basic Special Operation (BSO). Tempatnya pun tidak lagi di Kalibakung, tetapi pindah ke Sarangan.
Sesudah Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan RI, AL Belanda menyerahkan dua buah kapal perang jenis corvet yaitu HMS Morotai yang kemudian menjadi KRI Hang Tuah, dan HMS Tidore yang kemudian menjadi KRI Pati Unus. Sebagai komandan kapal perang KRI Hang Tuah ditunjuk RE Martadinata. Peristiwa itu terjadi 28 Desember 1949. RE Martadinata pun sangat gembira.
Namun, RE Martadinata hanya lima bulan menjadi komandan kapal KRI Hang Tuah. Sebab, dia mendapat tugas baru sebagai Kepala Staf Daerah Militer Surabaya. Hanya tiga bulan, selanjutnya dia dipanggil untuk ditempatkan sebagai Kepala Staf Operasi ALRI. Tugas ini pun hanya untuk sementara waktu sambil menunggu waktunya mengambil kapal perang HMS Tjerk Hidders, yang kemudian dikenal sebagai KRI Gajah Mada, dari Negeri Belanda.
Penunjukan RE Martadinata berdasarkan pertimbangan dialah satu-satunya perwira berpengalaman dan berpengetahuan luas dalam memimpin sebuah kapal perang. Kapal perang itu tiba di Indonesia pada tanggal 22 Februari 1951. Seminggu kemudian, RE Martadinata dilantik sebagai komandan kapal tersebut.
RE Martadinata pun pernah bertugas ke luar negeri di antaranya Filipina, Italia, dan Yugoslavia. Berbagai penghargaan pun diraihnya dari luar negeri.
Pada tahun 1959, di lingkungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) terjadi pergolakan yang melibatkan beberapa orang perwira muda yang menuntut kepada pimpinan nasional, supaya pimpinan TNI-AL diganti.
Akibat dari pergolakan itu, pimpinan nasional mengangkat Kepala Staf Angkatan Laut yang baru. Di usia 38 tahun, tepatnya pada tanggal 17 Juli 1959, Kolonel RE Martadinata diangkat menjadi Kepala Staf AL (KSAL).
Nama RE Martadinata diusulkan oleh Laksamana Madya R Soebijakto karena dianggap netral. Setelah menjabat KSAL, dengan sekuat tenaga dia berhasil mendamaikan kembali golongan-golongan yang saling berlawanan sehingga ALRI tetap utuh dan bersatu.
Sebagai KSAL, RE Martadinata bercita-cita negara Republik Indonesia memiliki Angkatan Laut modern, ampuh, dan jaya di laut. Bahkan, dia ingin memanfaatkan lautan bagi kemakmuran dan kejayaan bangsa. Untuk pembangunan AL, dia mengangkat perwira-perwira muda yang dinamis, yang berpandangan luas, cakap, dan terampil dalam melaksanakan tugas.
Pada April 1960, RE Martadinata dinaikkan pangkatnya menjadi Laksamana Muda. Pada tahun 1961, dinaikkan lagi menjadi Laksamana Madya.
Tahun 1965, kembali terjadi pergolakan di dalam tubuh ALRI yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR). Gerakan ini mengikuti pola Gerakan 1959 yaitu menghadap Presiden Soekarno untuk menyampaikan laporan terjadinya kemerosotan kinerja Angkatan Laut karena dikelola para perwira yang tidak profesional serta ketidakpuasan dengan kepemimpinan RE Martadinata sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut.
Karena gerakan ini dianggap sebagai pelanggaran militer dan sesuai saran dari Letnan Jenderal Ahmad Yani yang saat itu itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, 150 perwira yang terlibat dalam gerakan tersebut dikeluarkan dari dinas Angkatan Laut.
RE Martadinata yang dicopot Presiden Soekarno karena pernyataannya yang menyatakan akan bekerja sama dengan Angkatan Darat untuk menumpas Gerakan 30 September 1965.
RE Martadinata meninggal dunia pada 6 Oktober 1966 pada umur 45 tahun. Setelah helikopter Alloutte II milik ALRI dengan dikemudikan pilot Letnan Laut Charles Willy Kairupan. Dalam perjalanan, helikopter itu menabrak bukit di Riung Gunung. Peristwa itu menewaskan seluruh penumpang dan pilot, termasuk Laksamana Laut RE Martadinata. Jenazah RE Martadinata dimakamkan di TMP Kalibata.
Sumber: Sindonews
Dari sederetan tokoh yang pernah menjabat Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Laksamana TNI (Anumerta) Raden Eddy Martadinata adalah salah satunya.
Pria yang dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada 29 Maret 1921 ini adalah putra pertama dari R Ruchijat Martadinata, seorang pegawai Departemen Peperangan Pemerintah Hindia Belanda (Department van Oorlog) dan Nyi R Soekaeni.
Sebenarnya, oleh kakeknya dia diberi nama Muchammad Zuchdi. Namun, oleh orangtunya dia diberi nama Eddy. Tahun 1927, Eddy memasuki masa sekolah di Hollandsch lnlandsche School (HIS) Kertapati. Dia terdaftar dengan nama Eddy Martadinata.
Tamat di HIS pada 1934, Eddy Martadinata melanjutkan ke sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Palembang. duh nama sekolahnya susah susah yah jama dulu, masih ada gak yah sekarang sekolah ini?
Saat keluarganya pindah ke Bandung, Eddy melanjutkan ke MULO setempat. Tahun 1938 dia melanjutkan pendidikan ke Algemeene Middelbare School (AMS) di Jakarta.
Demi mewujudkan cita-cita menjadi pelaut, ia membujuk ayahnya agar diizinkan masuk ke Zeevaart Technische School (ZTS), yang kemudian menjadi Sekolah Teknik Pelayaran (STP). Setelah diizinkan, dia pun bersekolah di situ.
Meski sempat terputus karena Jepang menutup semua sekolah di seluruh Indonesia, Eddy akhirnya lulus. Semua siswa STP yang lulus sebagian besar diminta bekerja pada pelayaran Jepang.
September 1944 Beliau mendapat kepercayaan untuk menjadi Nakhoda Kapal Latih Dai 28 Sakura Maru. Inilah jabatan yang sudah lama dia dambakan. Saat menjadi komandan kapal itu, Eddy menikah dengan gadis bernama Sutijarsih, anak dari teman bapaknya, Suryaputra.
Jelang Proklamasi 17 Agustus 1945, para pelaut seperti Eddy Martadinata, R Suryadi, Adam, Daryaatmaka, Suparlan, Achmad Hadi, Untoro Kusmardjo, dan Jasanatakusumah menggalang persatuan dan kekuatan untuk menyongsong kemerdekaan. Mereka mengadakan hubungan dengan kelompok pemuda pejuang lainnya, di antaranya dengan kelompok pemuda Sukarni dan Chaerul Saleh.
Pada 10 September 1945, Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut Pusat terbentuk. RE Martadinata ditunjuk sebagai pimpinan BKR-Laut Banten yang bertugas membendung tentara Serikat ke Jawa Barat lewat laut.
Menyusul Maklumat Pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945 tentang lahirnya Tentara Keamanan Rakyat (TKR), secara otomatis organisasi BKR-Laut menjadi TKR-Laut. Saat Markas Besar MBU TKR-Laut dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, RE Martadinata diperintahkan supaya pindah ke Yogyakarta untuk membantu pimpinan MBU TKR-Laut. Selain itu, dia mendapat tugas sebagai Perwira Pendidikan MBU TKR-Laut.
Pada 25 Januari 1946, TKR diganti menjadi TRI. TKR-Laut pun menjadi TRI-Laut. Sebulan kemudian menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Pada Maret 1946, RE Martadinata menjadi Kepala Staf Operasi V (KSO V/Bagian Perencana) di MBU ALRI.
Setelah sukses melaksanakan tugas sebagai Kepala Staf Operasi, sejak bulan Maret 1947 RE Martadinata memimpin langsung Pendidikan Latihan Kilat Opsir di Kalibakung, dekat Tegal.
Saat Belanda melancarkan Agresi Militer I pada bulan Juli 1947, pangkalan-pangkalan ALRI yang berada di Pulau Jawa juga digempur. Melihat kenyataan itu, RE Martadinata tak tinggal diam. Dia segera mengeluarkan perintah kepada para guru dan siswa Pendidikan Latihan Kilat Opsir Kalibakung untuk membentuk kesatuan pertahanan. Dia langsung memimpin pasukan itu.
Belanda menyerang Kalibakung pada tanggal 25 Juli 1947. Belanda terus mengadakan pengawasan terhadap kegiatan di Kalibakung. Ini disebabkan banyaknya pelaut dari Tegal yang mundur ke wilayah itu. Pada tanggal 3 September 1947, Belanda melancarkan serangah udara.
Karena kondisi tidak aman lagi, Eddy Martadinata mengungsikan keluarganya ke Yogyakarta. Ia tetap berada di tengah anak buahnya untuk meneruskan pertempuran. Selama Agresi Militer I Belanda, RE Martadinata terus bergerilya di daerah sekitar Tegal dan Pekalongan.
Kemudian, dia ditarik kembali ke MBU-ALRI di Yogyakarta. Tetapi hanya sebentar karena setelah pimpinan ALRI diganti oleh R Soebijakto, RE Martadinata diperintahkan kembali ke Kalibakung melanjutkan memimpin sekolah yang terhenti selama agresi Belanda. Pendidikan itu berubah nama menjadi Basic Special Operation (BSO). Tempatnya pun tidak lagi di Kalibakung, tetapi pindah ke Sarangan.
Sesudah Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan RI, AL Belanda menyerahkan dua buah kapal perang jenis corvet yaitu HMS Morotai yang kemudian menjadi KRI Hang Tuah, dan HMS Tidore yang kemudian menjadi KRI Pati Unus. Sebagai komandan kapal perang KRI Hang Tuah ditunjuk RE Martadinata. Peristiwa itu terjadi 28 Desember 1949. RE Martadinata pun sangat gembira.
Namun, RE Martadinata hanya lima bulan menjadi komandan kapal KRI Hang Tuah. Sebab, dia mendapat tugas baru sebagai Kepala Staf Daerah Militer Surabaya. Hanya tiga bulan, selanjutnya dia dipanggil untuk ditempatkan sebagai Kepala Staf Operasi ALRI. Tugas ini pun hanya untuk sementara waktu sambil menunggu waktunya mengambil kapal perang HMS Tjerk Hidders, yang kemudian dikenal sebagai KRI Gajah Mada, dari Negeri Belanda.
Penunjukan RE Martadinata berdasarkan pertimbangan dialah satu-satunya perwira berpengalaman dan berpengetahuan luas dalam memimpin sebuah kapal perang. Kapal perang itu tiba di Indonesia pada tanggal 22 Februari 1951. Seminggu kemudian, RE Martadinata dilantik sebagai komandan kapal tersebut.
RE Martadinata pun pernah bertugas ke luar negeri di antaranya Filipina, Italia, dan Yugoslavia. Berbagai penghargaan pun diraihnya dari luar negeri.
Pada tahun 1959, di lingkungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) terjadi pergolakan yang melibatkan beberapa orang perwira muda yang menuntut kepada pimpinan nasional, supaya pimpinan TNI-AL diganti.
Akibat dari pergolakan itu, pimpinan nasional mengangkat Kepala Staf Angkatan Laut yang baru. Di usia 38 tahun, tepatnya pada tanggal 17 Juli 1959, Kolonel RE Martadinata diangkat menjadi Kepala Staf AL (KSAL).
Nama RE Martadinata diusulkan oleh Laksamana Madya R Soebijakto karena dianggap netral. Setelah menjabat KSAL, dengan sekuat tenaga dia berhasil mendamaikan kembali golongan-golongan yang saling berlawanan sehingga ALRI tetap utuh dan bersatu.
Sebagai KSAL, RE Martadinata bercita-cita negara Republik Indonesia memiliki Angkatan Laut modern, ampuh, dan jaya di laut. Bahkan, dia ingin memanfaatkan lautan bagi kemakmuran dan kejayaan bangsa. Untuk pembangunan AL, dia mengangkat perwira-perwira muda yang dinamis, yang berpandangan luas, cakap, dan terampil dalam melaksanakan tugas.
Pada April 1960, RE Martadinata dinaikkan pangkatnya menjadi Laksamana Muda. Pada tahun 1961, dinaikkan lagi menjadi Laksamana Madya.
Tahun 1965, kembali terjadi pergolakan di dalam tubuh ALRI yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR). Gerakan ini mengikuti pola Gerakan 1959 yaitu menghadap Presiden Soekarno untuk menyampaikan laporan terjadinya kemerosotan kinerja Angkatan Laut karena dikelola para perwira yang tidak profesional serta ketidakpuasan dengan kepemimpinan RE Martadinata sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut.
Karena gerakan ini dianggap sebagai pelanggaran militer dan sesuai saran dari Letnan Jenderal Ahmad Yani yang saat itu itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, 150 perwira yang terlibat dalam gerakan tersebut dikeluarkan dari dinas Angkatan Laut.
RE Martadinata yang dicopot Presiden Soekarno karena pernyataannya yang menyatakan akan bekerja sama dengan Angkatan Darat untuk menumpas Gerakan 30 September 1965.
RE Martadinata meninggal dunia pada 6 Oktober 1966 pada umur 45 tahun. Setelah helikopter Alloutte II milik ALRI dengan dikemudikan pilot Letnan Laut Charles Willy Kairupan. Dalam perjalanan, helikopter itu menabrak bukit di Riung Gunung. Peristwa itu menewaskan seluruh penumpang dan pilot, termasuk Laksamana Laut RE Martadinata. Jenazah RE Martadinata dimakamkan di TMP Kalibata.
Sumber: Sindonews
No comments:
Post a Comment