Soekarno Bersama Istri Dan Ke Dua Anaknya |
Fasilitas untuk Presiden Soekarno dikurangi. Pengawalan terhadapnya hanya dilakukan oleh CPM. Presiden juga dilarang menggunakan helikopter yang biasa digunakannya untuk bolak-balik ke Jakarta-Bogor.
Presiden hanya boleh menggunakan mobil dalam bepergian. Bahkan, permohonan dokter kepresidenan untuk menyediakan persediaan obat-obatan untuk penyakit ginjal Presiden Soekarno yang telah menipis tidak dipedulikan.
Akibat yang ditimbulkan dari kurangnya obat-obatan itu adalah, wajah Bung Karno menjadi bengkak dari hari ke hari. Setelah operasi ginjal di Wina, Bung Karno hidup dengan satu ginjal yang tidak sempurna.
Tidak hanya itu, Soekarno yang masih menjabat sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi juga diperlakukan sebagai masyarakat biasa. Seperti yang disaksikan sendiri oleh Suwarto, anggota Detasemen Pengawal.
Saat itu, anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang terdiri dari polisi sedang mengawal kepergian Presiden Soekarno ke Istana Bogor. Sudah menjadi aturan, ketika seorang Presiden turun dari mobil dibukakan pintunya.
Tetapi saat pintu mobil yang ditumpangi Presiden Soekarno akan dibukakan oleh anggota DKP, seorang Perwira Satgas Pomad membentaknya dengan kasar seraya mengatakan, "Biar dia buka sendiri, kamu kultus."
Di Istana Merdeka, jatah makan Presiden Soekarno bahkan ikut-ikutan dikurangi. Pernah suatu pagi, Soekarno merasa sangat lapar. Sudah menjadi kebiasaan, setiap pagi Presiden Soekarno sarapan dengan roti bakar.
Dia lalu memanggil pelayan istana, dan meminta dibuatkan roti bakar. Tetapi pelayan itu berkata bahwa di Istana Merdeka, "Tidak ada roti." Lalu Bung Karno berkata, "Kalau tidak ada roti, saya minta pisang saja."
Namun pelayan itu kembali menjawab, "Itu pun tidak ada." Hal ini kontan membuat Soekarno sangat kecewa. Karena merasa sangat lapar, Presiden Soekarno kembali berkata, "Nasi dengan kecap saja saya mau."
Tetapi, untuk yang kesekian kalinya sang pelayan menjawab, "Nasinya tidak ada." Presiden Soekarno lalu terdiam dan bergegas pergi ke Istana Bogor menemui Ibu Hartini, dan meminta dibuatkan sarapan pagi.
Di luar istana, aktivitas Presiden Soekarno juga selalu dimata-matai oleh intelijen Kodim. Seperti yang terjadi saat kunjungannya ke daerah Gadog, Ciawi, Bogor. Saat itu, Soekarno ingin membesuk Kolonel CPM Sunario.
Saat kunjungannya itu, Presiden Soekarno menyempatkan diri melihat aktivitas para petani di perkebunan rakyat. Alangkah kagetnya Soekarno, saat mengetahui para petani perkebunan terlihat sangat ketakutan.
Ketika Soekarno ingin menemui mereka dan menanyakan apa yang sedang terjadi, mereka menutup pintu dan rumah mereka. Sebagian lagi bahkan bersembunyi. Soekarno lalu menanyakan kepada Sunario.
Saat mendengar keterangan Sunario, Presiden Soekarno akhirnya tahu. Sebelum kedatangannya, masyarakat di perkebunan rakyat telah ditakut-takuti dengan cerita menyeramkan jika mereka berani menemui Soekarno.
Salah satu cerita yang tersiar, terjadi pada malam hari, saat Presiden Soekarno makan sate kambing di kawasan Ciawi. Pagi harinya, tukang sate itu diangkut tentara dan dibawa ke Kodim untuk diinterogasi.
Cerita tukang sate ini juga dialami oleh Ibu Supeni, Duta Besar Keliling Republik Indonesia. Saat itu, Supeni dan suaminya Ahmad Natakusuma sedang berada di Cipayung, Bogor, dan bertemu dengan Soekarno.
Soekarno saat itu naik mobil Jeep bersama Ibu Hartini. Mereka lalu pergi bersama ke pemandian Cimelati, Cigombong. Saat melihat Soekarno, rakyat langsung mengerubutinya. Di antara mereka ada seorang tentara.
Dengan menggunakan seragam lengkap, tentara itu bersujud di bawah kaki Soekarno. Hal ini disaksikan seluruh rakyat yang ada saat itu. Tanpa menjelaskan apa-apa, Soekarno hanya bilang, "Sudah! Sudah!"
Beberapa hari sejak peristiwa itu, Ibu Supeni didatangi tentara yang langsung menginterogasinya. Tentara itu menanyakan siapa orang yang bersujud di bawah kaki Soekarno saat itu? Dan dijawab, "Tidak kenal!"
Tidak percaya keterangan Supeni, tentara yang melakukan interogasi melanjutkan, "Masa Ibu tidak kenal? Dia kan seorang kolonel?" Hingga kini, siapa tentara yang bersujud di kaki Soekarno itu masih misterius.
Setelah mengalami berbagai kepedihan itu, Presiden Soekarno akhirnya meninggalkan Istana Merdeka. Sebelum 17 Agustus 1967, Presiden Soekarno dan keluarganya diminta harus sudah angkat kaki dari istana.
Peristiwa keluarnya Presiden Soekarno dan keluarganya dari Istana Merdeka, disaksikan secara langsung oleh Ajun Inspektur Polisi I Sogol Djauhari Abdul Muchid, anggota DKP yang setia terhadap Soekarno.
Dalam kesaksiannya, Sogol menceritakan, surat perintah yang meminta Presiden Soekarno angkat kaki dari Istana Merdeka datang dari Jenderal Soeharto yang diberikan kepadanya, melalui Komandan DKP Mangil.
Kepada Sogol, Komandan DKP minta Presiden Soekarno dan anggota keluarganya tinggal di Guest House, Jalan Iskandarsyah, Kebayoran Baru. Tetapi Soekarno tidak mau tinggal di tempat yang dijaga CPM itu.
Para sahabatnya yang merasa prihatin sempat menawarkan anak-anak Soekarno tinggal di rumah mereka. Namun Soekarno menolaknya, dan meminta anak-anaknya tinggal di rumah ibu mereka Fatmawati.
Sebelum mereka meninggalkan istana, Presiden Soekarno juga meminta anak-anaknya agar tidak ada yang membawa barang-barang berharga di istana, kecuali buku pelajaran, perhiasan pribadi, dan pakaian pribadi.
Permintaan Soekarno ini membuat anaknya yang pertama Guntur sakit hati. Sebab dia sudah menggulung kabel antena televisi dan siap membawa televisi itu, tetapi akhirnya ditinggalkan di Istana Merdeka.
Bung Karno sudah meninggalkan istana sebelum 16 Agustus 1967. Dia pergi dengan hanya menggunakan kaus oblong cap Cabe, dan celana piyama warna krem. Bayu piyamanya disampirkan di pundaknya.
Dengan memakai sandal cap Bata yang sudah usang, Soekarno keluar dari istana sambil menenteng koran yang digulung agak besar, berisi bendera pusaka sang saka merah putih pada tangan kanannya.
Itulah barang-barang milik Presiden Soekarno yang dibawanya pergi dari dalam istana. Sementara barang berharga lainnya, seperti logam mulia, batu mulia, dan uang dolar Amerika Serikat ditinggalkannya.
Di beranda istana, tampak mobil Volkswagen kodok milik pribadi Bung Karno sudah menunggu. Dia masuk dan duduk di belakang mobil, lalu pergi meninggalkan Istana Merdeka dan tidak pernah kembali lagi.
Itulah hari-hari terakhir Presiden Soekarno di Istana Negara. Selanjutnya Soekarno tinggal di Wisma Yaso. Saat itu, Soekarno masih menjabat sebagai Presiden, tetapi wewenangnya sebagai Presiden telah dicopot.
Foto-foto dirinya juga telah diturunkan dari semua kantor pemerintahan dan tempat-tempat umum. Bahkan, Presiden Soekarno tidak boleh menyebut dirinya lagi sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi.
Selama itu, roda pemerintahan dan jabatan Panglima Besar Angkatan Darat diambil alih oleh Jenderal Soeharto yang telah diangkat menjadi penjabat Presiden. Soekarno benar-benar dibuat tidak berdaya.
Setahun kemudian, Soekarno diturunkan menjadi Presiden Indonesia dan Soeharto diangkat sebagai Presiden. Setelah tidak lagi menjabat Presiden, penderitaan Soekarno semakin bertambah parah saja.
Berbulan-bulan lamanya, Bung Karno didatangi anggota Kopkamtib Soeharto dan diinterogasi mengenai apa yang telah terungkap selama interogasi dan proses Mahlibub. Hal itu membuat Soekarno depresi.
Anak-anaknya tidak ada yang boleh menemuinya. Soekarno hidup seorang diri bagaikan seorang pesakitan. Tabiat ringan hati dan masa lalunya telah hilang. Sering kali, Soekarno menangis seorang diri.
Saat tengah sendiri itu, Soekarno kadang melamun masa-masanya saat masih menjadi Presiden, di Istana Merdeka. Menurutnya, masa-masa itu adalah masa-masa yang sangat tidak menyenangkan hatinya.
Menurutnya, apa yang selama ini dilihat orang bahwa hidup Soekarno sangat bahagia adalah salah. Jauh di dalam hatinya, dia merasa sangat kesepian dan menderita. Namun, semua itu tidak diperlihatkannya.
Demikian riwayat proklamator kemerdekaan Indonesia di masa-masa akhir jabatannya sebagai Presiden berlangsung sangat tragis. Soekarno dicampakkan, terasing dari masyarakat yang diperjuangkannya.
Sumber tulisan
H Maulwi Saelan, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66, Visi Media, Cetakan Ketiga 2008.
Lambert J Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno, Grasindo, Jakarta 2005.
Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno-Media Pressindo, Edisi Revisi, Cetakan Kedua 2011.
SindoNews.com
No comments:
Post a Comment