Tuesday, October 6, 2015

AS Didesak Akui Perannya dalam Tragedi G30S PKI di Indonesia


Senator AS, Tom Udall, mendesak Pemerintah AS akui perannya dalam tragedi pembunuhan massal 1965 di Indonesia


Pemerintah Amerika Serikat (AS) didesak untuk mengakui perannya dalam tragedi pembunuhan massal tahun 1965 di Indonesia. 

Desakan itu disampaikan senator AS, Tom Udall yang tengah mengajukan rancangan resolusi baru terkait kasus 1965 atau dikenal sebagai peristiwa G30S.

Desakan itu disampaikan dalam sebuah pernyataan pada 1 Oktober lalu atau bertepatan dengan peringatan 50 tahun pembunuhan massal yang menewaskan sekitar 500 ribu hingga 1 juta orang. Pembunuhan massal itu menyusul peristiwa G30S.

”Hari ini, dalam Kongres Amerika, saya mengajukan rancangan resolusi baru yang akan menekan Pemerintah Amerika supaya mengakui perannya dalam pembantaian di Indonesia dan mengumumkan semua dokumen yang berisi informasi tentang peristiwa itu dan para pelakunya,” kata Udall yang merupakan Anggota Komisi Hubungan Luar Negeri Senat AS itu.

Senator itu mempertanyakan mengapa Pemerintah AS terus mengucurkan bantuan militer dan uang kepada Pemerintah Indonesia setelah tragedi pembunuhan massal 1965. ”Lima puluh tahun yang lalu pada tanggal 1 Oktober tahun 1965, dimulai dari salah satu kekejaman massal paling buruk di Indonesia, antara 500 ribu sampai satu juta orang, kebanyakan warga sipil, mati dalam pembantaian yang didukung oleh Pemerintah Indonesia. Dalam masa yang sama, Pemerintah Amerika terus memberikan bantuan militer dan keuangan kepada Indonesia,” ujarnya.

Seorang kritikus AS, menuduh CIA dan agen mata-mata lainnya secara eksplisit membantu dalam pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dicurigai terkait Partai Komunis Indonesia (PKI). Kecurigaan adanya peran CIA itu muncul karena AS masih terlibat Perang Dingin dengan Soviet (sekarang Rusia) yang merupakan blok besar komunis dunia.

”Saya pikir itu dapat ditunjukkan bahwa dengan tidak adanya dukungan dari orang-orang pemerintah, dan dalam lingkungan internasional yang agak berbeda, pembunuhan massal dan penahanan tidak akan terjadi," kata profesor sejarah UCLA, Geoffrey Robinson, di University of London’s School of Oriental and African Studies (SOAS), sebagaimana diberitakan Voice of America.

Sumber: sindonews.com

No comments:

Post a Comment