Monday, October 5, 2015

Operasi Penyelamatan Rahasia Bung Karno Oleh Korps Intai Para Amfibi "KIPAM"


“Harto, jane aku iki arep kok apa’ke? Aku iki presidenmu” Ungkap Soekarno pada Soeharto di suatu waktu dalam bahasa Jawa. Kurang lebih artinya, ‘Harto, sebenarnya aku ini akan kamu apakan? Aku ini presidenmu’.

Sedikitnya itu pengungkapan Soekarno pada Soeharto yang termaktub di autobiografi Soeharto, pasca-penjelasannya soal peristiwa G30S (Gerakan 30 September) 1965 di mana sejumlah perwira tinggi TNI AD gugur ditolak parlemen, sekaligus pasca-keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966.

Masa-masa akhir Soekarno setelah dua peristiwa itu begitu miris. Sang proklamator, sang penyambung lidah rakyat, Putra Sang Fajar yang mulai meredup, di mana Soekarno sejak Mei 1967 tak lagi diizinkan memakai gelar Kepala Negara atau status Presiden.

Di kala itu, Soekarno juga tengah intensif jadi obyek interogasi petugas Teperpu dan sudah “terasing” di Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala, Jakarta). Mendengar Bung Karno bertanya dengan miris seperti itu, segera Soeharto menurunkan perintah untuk tak lagi menginterogasi Soekarno.

Di masa pengasingannya itu pun, Soekarno tak diperbolehkan dijenguk siapapun. Hanya ada salah satu putrinya, Rahmawati dan dokter Kepresidenan Prof. Dr. Mahar Mardjono di Wisma Yaso yang juga mulai suram, mulai berantakan halamannya lantaran tukang kebun pun dilarang lagi untuk datang.

Operasi Rahasia Penyelamatan Bung Karno

Ketika itu, Soekarno bisa dikatakan berstatus tahanan rumah yang ditempatkan di Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala, Jakarta, bangunan ini ada di dalam area museum ini). Semua orang tahu, Soekarno ditahan, tetapi tidak banyak yang tahu nyawa proklamator tersebut diujung tanduk.



Siapa lagi loyalis militer Bung karno kalau bukan KKO ALRI yang hendak menculik & menyelamatkan proklamator tersebut dari rumah tahanan Wisma Yaso.

Dikisahkan suatu malam, satu tim Korps Intai Para Amfibi (Kipam) ALRI berhasil menyusup ke dalam Wisma Yaso. Batalyon Intai Amfibiatau disingkat YonTaifib adalah satuan elit dalam Korps Marinir seperti halnya Kopassus dalam jajaran TNI Angkatan Darat.

Dahulunya satuan ini dikenal dengan nama KIPAM (Komando Intai Para Amfibi). Untuk menjadi anggota YonTaifib, calon diseleksi dari prajurit marinir yang memenuhi persyaratan mental, fisik, kesehatan, dan telah berdinas aktif minimal dua tahun.

Salah satu program latihan bagi siswa pendidikan intai amfibi, adalah berenang dalam kondisi tangan dan kaki terikat, sejauh 3 km.

Dari satuan ini kemudian direkrut lagi prajurit terbaik untuk masuk kedalam Detasemen Jala Mengkara, pasukan elitnya TNI Angkatan Laut. Pada masa kini, Kipam sekarang dikenal dengan nama Taifib ( Intai Amfibi).


Kala itu, Kipam ALRI bisa melewati penjagaan ketat oleh Kostrad dan RPKAD, hingga masuk ke ruang di mana Soekarno terbaring tidak berdaya.

Seorang perwira pertama Kipam membangunkan sang Proklamator, kemudian mengajak bercakap sejenak sambil mengutarakan rencana mereka untuk membawa Soekarno keluar dari Wisma Yaso.

Tetapi rencana tidak berjalan mulus, Soekarno menolak untuk diselamatkan. Soekarno malah memerintahkan si perwira pertama untuk membawa timnya keluar dari Wisma Yaso. Tidak banyak kata yang terucap, Soekarno tidak mau lagi diajak berbicara. Alhasil, Kipam pulang dengan tangan hampa.

Operasi penyelamatan secara rahasia terhadap sang proklamator tersebut pun tidak banyak diketahui orang, kecuali hanya pada kalangan tertentu di ALRI dan KKO.

Padahal, jika saja mau, ALRI bisa jadi yang paling terdepan bersama Soekarno. Belum lagi ditambahkan dengan elemen-elemen nasional lainnya yang masih loyal dengan Bung Karno.

Soeharto dan Soekarno


Sebelum Sukarno Terbaring di Wisma Yaso

Sebelum di Wisma Yaso, Soekarno sudah mulai terasing di Istana Bogor sejak menandatangani Supersemar 1966. Dalam kenangan salah satu wartawan istana dari Harian Pelopor Baru, Toeti Kakialatu dalam buku ’34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto’, dijelaskan saat itu wartawan sudah tak boleh lagi bertemu Soekarno.

“Pintu Istana Merdeka dan Istana Bogor tertutup bagi semua wartawan. Sementara itu demonstrasi gencar terjadi menuntutTritura (Tiga Tuntutan Rakyat: Bubarkan PKI, Bubarkan Kabinet Dwikora dan Turunkan harga-harga makanan),” tulis Toeti.

“Beliau juga tak diperbolehkan berdiam di Istana Bogor, melainkan di kediaman pribadi di Jalan Batu Tulis, Bogor yang diberi nama ‘Hing Puri Bima Sakti’. Beliau nampak kesepian. Hanya beberapa petugas Teperpu yang selalu ingin mengorek keterlibatan Bung Karno atas peristiwa kudeta 1965,” tambahnya.

Lantaran terus-menerus diinterogasi dan tanpa teman berarti di sisinya, kesehatan Bung Karno pun menurun. Rahmawati kemudian menulis surat untuk Soeharto agar Bung Karno dipindah lagi ke Jakarta. Itulah akhirnya Bung Karno mendiami Wisma Yaso hingga akhir hayatnya.

Nasoetion, Soekarno dan Soeharto
Sebelum munculnya Supersemar

Padahal sebelum munculnya Supersemar yang mengharuskan Soekarno menyerahkan mandat pada Soeharto, setidaknya Soekarno masih bisa menikmati hari-hari luang. Pasca-Soeharto jadi Pejabat Presiden, Toeti mengaku bersama beberapa rekan wartawan lainnya masih sempat ‘ngemong’ Bung Karno.

“Kami keliling kota dengan bus mini ke beberapa toko anti, ke Stadion Senayan, melihat dari jauh pembagunan Gedung MPR/DPR. Saat itu juga Bung Karno sangat ingin makan sate di Priok. Tapi tak diizinkan bagian keamanan,” imbuh Toeti.

“Acara lain adalah nonton film di studio kecil yang waktu itu letaknya di bagian belakang Istana Negara. Biasanya kami nonton film Jepang. Bung Karno senang sekali nonton ‘Zato Ichi’, cerita tentang samurai pemberani bermata satu,” lanjutnya mengenang Bung Karno.

Soekarno Sungkem Kepada Ibundanya


Dalam kenangannya, Soekarno memang dikenal sosok yang teguh memegang prinsip yang dipercayainya, kendati rakyat sudah tak lagi menghendaki. Seperti konsep Nasakom(Nasionalisme, Agama dan Komunisme) contohnya.

Peristiwa G30S tak ayal membuahkan gejolak besar dalam politik Indonesia. Soeharto sedianya sudah lebih dari 10 kali membujuk Soekarno untuk memenuhi Tritura yang di antaraya, membubarkan PKI. Tapi itu artinya menghapus pula konsep Nasakom yang dipegangnya selama rezim demokrasi terpimpin.

“Dudu sanak, dudu kadang. Nek mati melu kelangan,” begitu jawab Soekarno yang menyiratkan keengganan membubarkan PKI, di mana kira-kira artinya, bukan saudara bukan kawan, tapi kalau mati turut kehilangan.

Sayang, pilihannya yang tak menghendaki pemenuhan Tritura membuatnya harus jatuh dari segala tongkat komando yang pernah dikuasainya. Soekarno seolah harus menghadapi masa senjanya dengan kesendirian dan kondisi yang suram di Wisma Yaso.

Kondisi kesehatannya yang kian memburuk mengharuskan Soekarno dirawat di Rumah Sakit Gatot Subroto. Dunia internasional tak alpa pula mengikuti kondisi sosok yang pernah sangat diperhitungkan blok barat dan timur itu.

Soekarno Ketika Terbaring Sakit

“Berita tentang parahnya penyakit Bung Karno menjadi gosip santer. Juga beredarlah foto dari ‘Associated Press’ di media-media barat, Bung Karno tengah berbaring tak berdaya dengan wajah sembab, sedang dijaga putrinya, Rahmawati,” sambung Toeti lagi.

Tapi tak lama kemudian di Paviliun Darmawan RS Gatot Subroto, Soekarno yang lahir di Surabaya pada 6 Juni 1910 dan sejak kecil selalu ingin jadi penakluk, akhirnya ditaklukkan takdir. Maut menjemputnya pada 21 Juli 1970.

Sempat beredar soal isu keinginan Bung Karno sendiri yang ingin dimakamkan di Batu Tulis, Bogor.

Tapi dikatakan pihak keluarga juga saling berbeda pendapat soal di mana Soekarno akan dikebumikan. Namun Soeharto turut memutuskan bahwa Soekarno hendaknya dimakamkan dekat makam ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai di Blitar, Jawa Timur.

Sekalipun demikian, situasinya saat itu mungkin sulit dipahami, Soekarno lebih memilih bangsanya aman dan tenang. Mungkin bisa dikutip dari nasehat Soekarno kepada anaknya:

“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekali pun, ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng, hanyalah kekuasaan rakyat dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”

Para pemimpin di masa sekarang hendaknya mau bercermin dan mengambil keteladanan seorang Soekarno, sang proklamator. Sikap seperti Soekarno bisa jadi cermin dari sikap para orangtua di masa lalu, mengingat pada masa itu, walau seorang menteri pun, tak ada yang hidupnya kaya atau pun hidup bermewah-mewah.

Banyak diantaranya tak mau fasilitas rumah dari negara dan malah memilih untuk hidup di rumah kontrakan, makan seadanya, ada yang bermasalah dengan WC rumahnya yang mampet, bahkan ada yang tak mampu membeli kain kafan untuk anaknya yang meninggal. Padahal mereka adalah seorang Menteri Negara yang mengurusi seganap rakyatnya, rakyat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke.

Sumber: viva.co.id

No comments:

Post a Comment